"Beberapa hari lalu, Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani menyampaikan bahwa tahun 2018 baru pertama kali sejak 2011 penerimaan APBN mencapai target dan tidak melakukan perubahan APBN. Pernyataan tersebut kurang tepat," ujar Said yang menyertakan tagar #MARIKITAJUJUR melalui akun Facebook resminya 'Muhammad Said Didu' pada Rabu (2/1) malam.
Said beralasan, surplus penerimaan APBN sudah pernah terjadi pada 2007 dan 2008. Disebutkan Said, penerimaan negara pada 2007 sebesar 4 persen di atas target.
"Bahkan, di tahun 2008 seingat saya targetnya dinaikkan karena harga minyak naik dan saat itu terjadi krisis ekonomi tapi penerimaan 9,7 persen di atas target," ujar mantan Staf Khusus Kementerian ESDM era Sudirman Said ini.
Said juga tidak memahami alasan Sri Mulyani hanya mengambil rentang 2011-2018 untuk menunjukkan tren penerimaan. Ia menuding Sri Mulyani sengaja menutupi data 2007 dan 2008 sehingga masyarakat menganggap tercapainya target penerimaan 2018 adalah yang pertama.
Kemudian, Said juga menilai pemerintah keliru karena tidak mengajukan perubahan APBN 2018, khususnya pada target penerimaan yang semestinya dikerek. Pasalnya, tahun lalu, harga minyak, gas, dan batu bara menanjak.
Sebagai contoh, lanjut Said, asumsi harga minyak US$48 per barel, sementara realisasi adalah US$66 per barrel. Artinya, menurut Said, jika target penerimaan dibuat realistis -bukan dibuat rendah- dipastikan realisasinya tidak tercapai.
"Semoga ke depan semua makin jujur kepada rakyat. Hentikan pencitraan dengan data yang tidak valid," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Nufransa Wira Sakti menilai Said salah paham dalam memahami konteks penjelasan Sri Mulyani. Dalam hal ini, tercapainya target pendapatan negara terakhir kali memang terjadi pada 2011.
"Kami tahu data-data tahun sebelumnya yang melebihi target. Tidak ada yang kami tutup-tutupi," ujar pria yang akrab disapa Frans ini.
Terkait absennya revisi APBN tahun lalu, Frans mengingatkan untuk melihat hasil akhir realisasi APBN 2018. Tahun lalu, penerimaan negara mencatat surplus, penyerapan angaran mencapai 99 persen, dan pembiayaan tumbuh negatif.
"Jadi semua masih terkendali bahkan bisa lebih bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang menerapkan APBN Perubahan," ujarnya.
Frans mengingatkan tahun lalu kenaikan harga minyak juga diiringi peningkatan dana untuk memenuhi kebutuhan subsidi energi. Berdasarkan data sementara Kemenkeu, realisasi subsidi energi tahun lalu mencapai Rp153,5 triiun atau Rp53 triliun di atas asumsi awal yang hanya sebesar Rp94,5 triliun.
Namun, kebutuhan tambahan subsidi tersebut masih bisa tertutupi oleh meningkatnya pendapatan dari sektor minyak dan gas sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia dan pergeseran dari pos belanja lainnya.
Tercatat, pendapatan sektor migas tahun lalu mencapai Rp207,9 triliun. Pendapatan tersebut terdiri dari raupan pajak penghasilan (PPh) migas yang mencapai Rp64,7 triliun atau 169,6 persen dari target, PNBP minyak Rp138,2 triliun atau 232 persen dari target, dan PNBP gas Rp5 triliun atau 24,3 persen dari target. (sfr/lav)
from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2F61uWy
No comments:
Post a Comment