Cerita Arena
Ahmad Bachrain, CNN Indonesia | Rabu, 31/10/2018 20:05 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada tempat bagi pemain dan pelatih bukan bintang di Real Madrid. Los Blancos tersohor dengan klub yang mengagungkan kesempurnaan. Karakter klub yang masih mencerminkan watak sang jenderal pemimpin otoriter Kerajaan Spanyol, Francisco Franco Bahamonde.Jenderal Franco yang pernah berkuasa pada 1939 hingga 1975 merupakan 'ayah angkat' Madrid yang membesarkan klub itu dengan segala cara melalui politik tangan besinya.
Kini karakter itu seolah tak pernah hilang. Sosok bintang pun bukan jaminan bakal terus dipertahankan. Mereka terancam tedepak jika sedikit saja redup. Hari ini jadi pahlawan, besok bisa jadi bahan cemoohan.
Manajemen di Los Blancos dikenal amat mendambakan kesempurnaan sehingga tak ada ruang bagi kemunduran sekecil apapun. Nilai-nilai itu menular ke pendukung setia mereka terutama di Kota Madrid.Pemain bintang macam Cristiano Ronaldo pernah merasakan tekanan tersebut ketika bermain kurang maksimal di Stadion Santiago Bernabeu. Siulan dan teriakan cemoohan dari suporter sendiri kerap mengganggunya sehingga ia sempat merasa frustrasi dengan kelakuan para suporter tuan rumah.
Cristiano Ronaldo pun sering dikritik. (AFP PHOTO/GERARD JULIEN)
|
Kursi pelatih bahkan menjadi yang paling panas di tim itu. Deret nama beken juru taktik di dunia pernah terlempar dari posisi mereka di kursi kepelatihan. Sebut saja Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, Rafael Benitez, dan Zinedine Zidane, pernah merasakan tekanan luar biasa sebelum hengkang dari klub itu.
Terbaru adalah Julen Lopetegui. Awalnya Madrid terpincut dengan kepiawaian pelatih itu menangani Timnas Spanyol.
Ia tak pernah kalah dari 20 kali laga membesut La Furia Roja baik di laga uji coba maupun kompetisi macam kualifikasi Piala Dunia 2018. Lopetegui meraih 14 kali kemenangan dan sisanya imbang.Di kualifikasi Piala Dunia zona Eropa, Lopetegui bahkan mampu meraih sembilan kemenangan dari 10 kali laga. Sisanya ditahan imbang Italia 1-1.
Pelatih kelahiran Asteasu itu membuat kejutan setelah Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) terpaksa memecatnya hanya sehari sebelum Piala Dunia 2018 bergulir. Alasannya, Lopetegui sudah memastikan menerima pinangan El Real sehingga dianggap bakal tak fokus di timnas Spanyol.
Julen Lopetegui dipecat dari Real Madrid setelah 140 hari menangani klub tersebut. (REUTERS/Albert Gea)
|
Tak ada ultimatum sebelumnya terkait rencana pemecatan Lopetegui yang mencuat ke permukaan. Namun, sempat ada isyarat dari Direktur Real Madrid, Emilio Butragueno, memberikan kesempatan terakhir bagi pelatih itu menangani Los Blancos di laga El Clasico bertandang ke markas Barcelona, pada laga La Liga Spanyol, Minggu (28/10).
"Ya, seperti biasanya. Kami harus melakukan persiapan dengan baik dan tetap tenang. Minggu adalah laga yang akan memberikan motivasi ekstra," ujar Butragueno menjawab pertanyaan terkait nasib Lopetegui seperti dikutip Marca.
Hasilnya, Madrid dihancurkan Barcelona 1-5 seperti halnya Blaugrana menggebuk klub-klub semenjana. Tak butuh waktu lama bagi Los Blancos yang biasa menerapkan politik tangan besi untuk mendepak Lopetegui. Kariernya di Los Blancos tamat pada Senin (29/10) malam waktu setempat.
Iker Casillas menitikkan air mata perpisahan untuk Real Madrid. (Andrea Comas)
|
Sang pemimpin Spanyol itu dikenal dengan reputasinya sebagai diktator yang memuja kesempurnaan. Semangat ultra-nasionalisme yang diusungnya memaksakan pula keseragaman pada masa kekuasannya.
Perbedaan budaya hingga ideologi di Spanyol, 'disatukannya' melalui tangan besi dengan kekuatan militer. Kebijakan itu yang membuat wilayah-wilayah yang secara budaya berbeda macam Basque, Catalonia, maupun Andalusia memberontak.
Sang jenderal meraih tampuk pimpinan di Spanyol pada 1939 usai menang perang saudara yang berkecamuk pada 1936. Meski terkesan netral saat Perang Dunia II, Spanyol dikenal menjadi salah satu negara fasis.
Jenderal Franco mampu menggalang massa dari kalangan sayap kanan yang anti terhadap komunisme. Kemenangan sang diktator pun menyisakan puing-puing kehancuran usai perang saudara dan Perang Dunia II di Spanyol.
Tiga pemain legendaris Real Madrid. (Shaun Botterill)
|
Amerika Serikat merasa penting memberikan bantuan dana untuk Spanyol sekaligus menanamkan kekuatan militer mereka demi stabilitas di Semenanjung Iberia pascaperang Dunia II.
Meski memberikan bantuan, cara-cara diktator sang jenderal sudah terendus Amerika Serikat dan bukan tak mungkin ia bakal terdepak.
Jenderal Franco tak kehilangan ide. Ia mulai menancapkan garis politiknya di sepak bola. Real Madrid yang notabene klub ibu kota, disulapnya menjadi tim raksasa dengan gelontoran dana besar.
Jenderal Franco memenangkan perang saudara yang berkecamuk di Spanyol sejak 1936. (STF / AFP)
|
Sejak mendapatkan dana besar, Madrid amat royal membeli pemain-pemain bintang. Sebut saja Raymond Kopa, Alberto Di Stefano hingga Ferenc Puskas.
Barcelona yang merupakan klub rival, pernah menjadi korban keganasan Madrid dalam transfer pemain. Salah satu yang cukup menghebohkan seperti dilansir dari ESPN adalah aksi 'pembajakan' pemain incaran Blaugrana, Di Stefano, pada 1953.
Dengan cara-cara licik, Madrid mampu mengikat Di Stefano yang sempat diminati Barca. Padahal, pemain asal Argentina itu sebelumnya sempat menyatakan ketertarikannya merumput di klub Catalonia.
Intervensi Jenderal Franco terhadap Real Madrid itu pula yang semakin memperuncing rivalitas klub tersebut dengan Barcelona.
Duel tim tersebut di lapangan tak lagi sekadar unjuk kekuatan di lapangan. El Clasico menjadi adu gengsi kebanggaan identitas orang-orang Catalonia melawan Castilian Spanyol.
Rivalitas pun semakin merambah pada tim satu kota Madrid yakni Athletico Madrid. Persaingan mereka seolah menjadi pertarungan antara dua entitas ideologi berbeda dalam satu kota. Duel Madrid yang merepresentasikan ultra-nasionalisme menghadapi Athletico sebagai simbol para pejuang kelas.
Ambisi Madrid menuju kesempurnaan mencapai klimaksnya pada 1950-an. Los Blancos mampu meraih enam trofi Liga Champions. Lima di antaranya disabet secara beruntun pada musim 1955/1956 hingga 1959/1960.
Di eranya pula, Madrid mampu meraih 15 kali gelar juara La Liga Spanyol. Sementara pada masa itu, Barcelona hanya meraih tujuh kali trofi Liga Spanyol.
|
Tengok saja setiap eranya, mereka selalu memiliki selera yang sangat tinggi untuk memilih pemain. Madrid haus merekrut para pemain bintang, sejak era Di Stefano dan Puskas, hingga Ronaldo. (bac/jun)
from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2P2s0VW
No comments:
Post a Comment