Pages

Saturday, September 29, 2018

Mendulang Rupiah dari Pulasan Spanduk Pecel Lamongan

Jakarta, CNN Indonesia -- Hartono tak pernah membayangkan akan menjadi pelukis spanduk pecel lele walau memang suka menggambar sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dapat dikatakan profesi itu ia tekuni karena 'kecelakaan'.

Menengok ke belakang, pria 49 tahun ini petama kali datang ke Jakarta pada 1992. Kala itu ia membantu sepupunya dagang pecel di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Saat itu ia belum melukis spanduk.

Hartono yang tak mau sekadar mengikut sepupu akhirnya membuka warung pecel sendiri di kawasan Sawangan, Depok, pada 1994. Kala itu ia minta dibuatkan spanduk oleh temannya bernama Teguh Wahono, namun Teguh menolak karena beranggapan Hartono bisa membuat sendiri.

"Saya kan enggak mengerti cat apa yang harus dipakai. Terpaksa saya buat sendiri," kata Har, sapaan karib Hartono, kala CNNIndonesia.com berkunjung ke lokasinya bekerja di kawasan Pekayon, Bekasi, beberapa waktu lalu.

Hasilnya memang tidak memuaskan, tapi setidaknya spanduk itu cukup untuk menjadi penutup warung makan miliknya. Tak lama setelah itu, salah satu anggota keluarganya minta dibuatkan spanduk karena ingin berjualan.

"Akhirnya berkembang dari mulut ke mulut, banyak yang minta dibuatkan spanduk. Saya juga semakin bisa dan tahu cat apa yang harus digunakan," kata Har.

Har tak langsung berhenti dagang pecel ketika sudah banyak yang pesan spanduk. Ia ingin memiliki pelanggan tetap setidaknya 730 orang terlebih dahulu.

Jumlah itu ia dapatkan bila ingin setiap hari mendapatkan pelanggan mengingat satu spanduk bertahan satu sampai dua tahun. Dengan jumlah itu, ia bisa bekerja dan mendapatkan uang setiap hari.

Ia mengakui jumlah pelanggan sebanyak itu sulit didapat, terlebih saat ia berjualan belum ada internet.

Hartono kala membuat spanduk pecel lele Lamongan.Hartono kala membuat spanduk pecel lele Lamongan. (CNN Indonesia/M. Andika Putra)

Di sisi lain, ia harus berkutat dengan peraturan tata kota yang tidak mengizinkan berjualan di pinggir jalan. Alhasil ia nomaden ke Kutabumi Tangerang pada 1997, tegusur ke Marga Jaya Bekasi pada 1999, lalu bergeser ke Pekayon pada 2005.

Pada 2008, Hartono gantung wajan kala dia sudah memiliki 730 pelanggan spanduk. Kini, ia duduk mengerjakan spanduk pesanan sembari ditemani rokok dan kopi di 'kantor' yang bersebelahan dengan rumahnya di Pekayon.

"Dagang pecel kalau enggak punya tempat sendiri enggak akan tenang karena tergusur penataan kota. Kalau bikin spanduk kan bisa di mana saja, di rumah juga bisa kayak saya sekarang," kata Har.

Har melanjutkan,"Jadi sebanarnya saya beralih menjadi pelukis spanduk bukan hanya karena pendapatan saja, tapi juga karena mencari ketenangan. Kan enggak tenang kalau pindah terus."

Per meter spanduk dibanderol dengan harga Rp120 ribu. Kurang lebih ia menghabiskan Rp30 ribu untuk membeli kain katun tetoron, cat sablon dan penguat cat yang disebut binder. Dengan begitu ia mendapat untung sekitar Rp90 ribu per meter.

Biasanya satu warung memesan spanduk sepanjang 10 meter, yang terdiri dari lima meter untuk bagian depan dan 2,5 meter masing-masing untuk sisi kanan serta kiri warung. Spanduk bagian depan sepanjang 25 meter adalah ukuran terpanjang yang pernah Har buat.

"Yang panjang itu biasanya untuk pedagang boga bahari, mereka minta banyak gambar hewan-hewan bahari," kata Har.

Total rata-rata per bulan Har bisa mendapat pesanan spanduk sepanjang 280 meter. Dengan jumlah ini dan untung per meter yang didapat, Har bisa mengantongi sekitar Rp25 juta per bulan.

Dua setengah dekade menjadi pembuat spaduk pecel, Har sudah mengirim spanduk ke berbagai daerah di Indonesia kecuali Papua karena masih jarang terdapat pedagang pecel.

Sriningsih, istri Har, membuat lis [bordir] spanduk pecel lele Lamongan.Sriningsih, istri Har, membuat lis [bordir] spanduk pecel lele Lamongan. (CNN Indonesia/M. Andika Putra)

Kini Har membuat spanduk dengan dua cara, yaitu lukis dan sablon. Sablon ia gunakan untuk huruf dan lukis ia gunakan untuk gambar binatang. Kombinasi dua cara ia lakukan untuk menghemat waktu namun tak menghilangkan pakem spanduk pecel lele Lamongan.

Dengan teknik itu, Har bisa mengerjakan spanduk sepanjang 10 meter setiap hari. Ia akan menyablon lebih dulu sebelum melukis hewan. Istrinya, Sriningsih, bertugas menjahitkan lis berwarna hijau muda.

Serupa dengan Har, sepak terjang Trisno sebagai pelukis spanduk pecel lele juga tidak sengaja. Trisno pertama kali datang ke Jakarta pada 2009 dengan bekerja di salah satu restoran bebek asal Indonesia.

Kemudian pada 2012 ia keluar dari restoran itu dan membuka warung pecel lele di Serang, Banten, dekat salah satu pabrik. Namun pabrik tutup sehingga Trisno harus gulung tikar. Beruntung ia sempat belajar membuat spanduk sebelum gulung tikar.

"Dulu saya nawarin langsung ke pedagang pecel, saya bawa contoh gambar. Ada satu dua pedagang yang mau dan setelah itu dari mulut ke mulut," kata Trisno.

Pria 29 tahun ini tergabung dalam komunitas pelukis spanduk pecel dan pedagang pecel di Facebook, komunitas itu bernama Komunitas Spanduk Lukis Lamongan. Ia tak tahu mengapa nama itu diganti menjadi Komunitas Pecel Lele Lamongan.

Lewat komunitas itu Trisno mencari teman dan promosi spanduk. Bahkan lewat komunitas itu pula ia berhasil menjual spanduk ke berbagai daerah, dari Aceh sampai Papua.

Setidaknya setiap hari ia mendapat pesanan satu paket spanduk sepanjang 10 meter. Sama seperti Har, ia menjual spanduk Rp120 ribu setiap meter. Untung bersih lebih dari 50 persen masuk ke kantung Trisno, atau sekitar Rp600 ribu per hari.

Mendulang Rupiah dari Pulasan Spanduk Pecel LamonganSerupa dengan Har, sepak terjang Trisno sebagai pelukis spanduk pecel lele juga tidak sengaja. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)

Ketimbang dagang pecel, kata Trisno, untung membuat spanduk lebih banyak. Kini ia bisa membiayai kebutuhan keluarga dan cicilan rumah, bahkan ada uang berlebih untuk tabungan.

Trisno 'menang banyak' kalau ada pesanan spanduk dari luar Pulau Jawa karena warung pedagang pecel lebih luas.

Biasanya pedagang pecel di luar Jawa memesan spanduk sepanjang 20 meter, 10 meter untuk bagian dengan dan lima meter untuk sisi kanan serta kiri warung.

Berbeda dengan Har, Tris masih mempertahankan membuat spanduk hanya dengan melukis. Selain spanduk lebih tahan lama, ia tidak ingin menghilangkan pakem spanduk pecel lele Lamongan.

Tapi risikonya, pelukisan memakan waktu sehingga Tris tidak bisa membuat spanduk sepanjang yang dibuat Har dalam satu hari. "Ya saya sehari bisa buat sekitar 6 meter, kalau dibantu istri bisa lebih panjang. Untuk lis [bingkai], saya kasih ke penjahit," kata Trisno. (end)

Let's block ads! (Why?)

from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2NQQ1Pm

No comments:

Post a Comment