Pengamat penerbangan yang juga mantan Menteri Perhubungan periode 2007 - 2009 Jusman Syafii Djamal menyayangkan terjadinya kecelakaan tersebut. Apalagi, kecelakaan terjadi di tengah pengakuan dunia internasional terhadap dunia penerbangan Indonesia yang dalam dua tahun terakhir trennya membaik.
Pada 2016 lalu, Indonesia dinyatakan lolos standar keselamatan dan keamanan penerbangan dari Amerika Serikat (AS) Federal Aviation Administration (FAA) dari kategori 2 menjadi kategori 1. Tahun lalu, skor kepatuhan keselamatan penerbangan Indonesia yang dirilis Organisasi Penerbangan Sipil (ICAO) juga berhasil mencapai 81,15 atau di atas rata-rata dunia yang ada di atas level 60.
Skor tersebut, naik tajam jika dibandingkan 2014 yang hanya 45. Sementara Juni lalu, penerbangan Indonesia juga mendapatkan pengakuan Uni Eropa.
Uni Eropa memutuskan untuk mencabut larangan terbang terhadap 55 maskapai penerbangan Indonesia. Jusman mengatakan pemerintah musti segera mengevaluasi diri. Terjadinya kecelakaan kemarin salah satunya tak terlepas dari masalah pengawasan yang dilakukan Kementerian Perhubungan.
Kegiatan pengawasan oleh Kementerian Perhubungan dimaksudkan untuk melihat ketimpangan atau gap antara aturan dan pelaksanaan di lapangan, baik dari sisi organisasi, konsistensi, prosedur operasional hingga personel.
Ketiga pengawasan tersebut paling mudah terlihat saat pesawat dilepas oleh petugas dispatcher atau teknisi yang mendapatkan lisensi untuk menyatakan pesawat layak atau tidak untuk terbang.
Jusman mengatakan harus ada inspektur yang melihat pengawasan tersebut. "Pengawasan ini yang saya lihat menurun, baik jumlah maupun inspektur dan rutinitas pengecekan," katanya kepada CNNINdonesia.com.
Penurunan tersebut ia cium dari frekuensi kedatangan inspektur saat ramp check, pemeriksaan lapangan atau saat pesawat mau berangkat. Menurut Jusman, inti dari pengawasan adalah kepercayaan.
Pihak yang mengawasi akan jujur mengatakan apa yang dikerjakan di lapangan. "Tapi di Indonesia ini kurang. Kadang ketat, kadang tidak. Akibatnya, di industri penerbangan lama-lama muncul pikiran untuk menempatkan keselamatan pada urutan pertama, menjadi kurang," katanya.
Komunikasi petugas dispatcher antar bandara terkait kondisi terakhir pesawat di bandara masing-masing macet. Laporan permasalahan dari penumpang juga lamban untuk ditindaklanjuti oleh maskapai. Padahal, penumpang merupakan mata dan telinga dalam pengawasan.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Baitul Ikwan mengatakan sejauh ini pengawasan sudah dilakukan sesuai dengan UU Penerbangan serta peraturan teknisnya. Upaya pengawasan telah dilakukan sebelum pesawat terbang.
Dengan mekanisme pengawasan tersebut, pesawat yang bisa mengudara harus mengantongi sertifikat terdaftar. Sertifikat berlaku selama tiga tahun dan sertifikat kelaikan udara satu tahun. Jika masa berlaku habis, operator maskapai harus memperpanjang.
Personel yang mengawasi adalah inspektur yang kompeten serta melibatkan personel dari maskapai sesuai standar internasional. "Selama satu tahun sertifikat kelaikan udara berlaku, upaya perawatan dilakukan oleh operator maskapai sendiri dan pemerintah mengawasi tahapan-tahapan yang dilakukan," kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/10).
Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati mengingatkan agar kecelakaan Lion kemarin tidak serta merta kesalahannya dikambinghitamkan pada lemahnya pengawasan. Secara normatif, standar keselamatan dan kepatuhan keselamatan penerbangan di Indonesia saat ini telah memenuhi standar internasional.
Menurutnya, kecelakaan pesawat bisa benar-benar dihentikan 100 persen, bila operasional maskapai dan bandara ditutup; satu pilihan yang tidak mungkin diambil di tengah kebutuhan layanan penerbangan dari masyarakat yang masih tinggi. "Selama penerbangan ada, risiko kecelakaan pasti ada. Jadi harus hati-hati menyikapi. Jangan karena pesawat jatuh terus langsung bilang pengawasan kurang," katanya.
No comments:
Post a Comment