Sudah banyak penelitian yang menemukan dampak positif penggunaan vape. Beragam penelitian ini dijadikan dasar bagi para pebisnis vape untuk melancarkan bisnisnya.
Namun, di balik klaim tersebut, diam-diam ada kekhawatiran yang muncul. Bak oposisi, sejumlah penelitian yang melawan klaim tersebut pun bermunculan. Tak main-main, vape bahkan disebut dapat mengancam nyawa.
Tak terpengaruh oleh dua kelompok yang seolah berseteru itu, faktanya jumlah pengguna vape terus merangkak naik. Pengguna vape terus meningkat di seluruh dunia dari sekitar 7 juta pada 2011 menjadi 41 juta pada 2018. Euromonitor memprediksi angka tersebut akan terus melonjak hingga mencapai 55 juta pada 2021 mendatang.Di Indonesia, prevalensi perokok elektrik pada penduduk berusia di atas 15 tahun meningkat dari 2 persen pada 2016 (Sirkesnas 2016) menjadi 2,7 persen pada 2018 (Riskesdas 2018). Peningkatan ini tak cuma didorong oleh faktor manfaat positif yang dimiliki vape, tapi juga faktor rokok elektrik sebagai gaya hidup yang tengah naik daun.
Di tengah tren yang terus meningkat, pusaran kekhawatiran bermunculan. Sejumlah studi yang menjelaskan dampak negatif vape terus bermunculan. Vape disebut dapat merusak paru-paru, jantung, pembuluh darah, otak, dan masih banyak lagi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah memberikan 'lampu kuning' untuk penggunaan rokok elektrik. Vape, sebut WHO, menjadi bahaya nyata bagi kesehatan masyarakat di dunia.
Isi dan emisi yang ada di dalam electronic nicotine device systems (ENDS) atau perangkat rokok elektrik menjadi dua hal yang dinilai sebagai biang kerok. WHO menyebut, beberapa zat kimia yang ada di dalamnya mengandung racun berbahaya.Kekhawatiran semakin menjadi-jadi saat penyakit paru-paru akibat vape (VAPI) ditetapkan sebagai epidemi di Amerika Serikat (AS). Per Jumat (4/10), sebanyak lebih dari 1.000 kasus penyakit paru-paru akibat vape ditemukan. Sebanyak 19 pasien di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Hingga saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) masih meneliti kandungan di dalam vape yang menyebabkan penyakit paru-paru tersebut.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Rokok elektrik tergolong barang baru di Indonesia. Gegap gempita vape atau electronic nicotine delivery systems (ENDS) lainnya berputar di tengah pusaran kebingungan masyarakat. Meski diketahui mengandung ancaman bahaya, vape kian populer dan terus melenggang di pasaran tanpa ada regulasi yang jelas.
Meski belum diketahui jumlahnya, tak menutup kemungkinan kasus penyakit paru-paru yang sama ditemukan di Indonesia. "Penyakit paru terkait vape ini tergolong baru. Kasus ini juga mungkin terjadi di Indonesia," ujar Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Agus Dwi Susanto.
Ilustrasi. Tak adanya sistem pencatatan dan pelaporan yang rapi di Indonesia membuat penyakit akibat vape sulit terungkap. (ANTARA FOTO/Irfan Anshori)
|
Sayang, tak adanya sistem pencatatan dan pelaporan di Indonesia membuat penyakit-penyakit tersebut tak terungkap. Tak adanya tata laksana yang rinci mengenai VAPI juga semakin membuat penyakit tersebut terus tersembunyi di balik gegap gempita tren rokok elektrik.
Sebagai seorang dokter yang menangani pasien secara langsung, Agus pernah menemukan kasus penyakit paru dengan gejala serupa VAPI. Penyakit ini ditandai dengan gejala berupa sesak napas, demam, batuk, nyeri dada, muntah, diare, sakit kepala, dan gangguan kesadaran.
Merespons huru-hara korban vape di AS, pada akhir September lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengimbau atau bahkan melarang masyarakat untuk menggunakan vape. Dampak negatif yang ditimbulkan menjadi alasan dikeluarkannya imbauan tersebut.
"Promosi [vape] menggunakan klaim kesehatan. Ada pembentukan opini yang kencang sekali," ujar ahli kesehatan masyarakat, Widyastuti Soerojo.
Widyastuti menganggap, apa yang terjadi di AS menjadi 'early sign' akan bahaya rokok elektrik yang juga tengah naik daun di Indonesia. "Harus diinvestigasi dampak jangka panjangnya," kata dia.Ketua Humas Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Rhomedal Aquino tak menampik jika vape tak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Tapi, lanjut dia, setidaknya vape tidak lebih berbahaya jika dibandingkan rokok konvensional.
Rhomedal juga mengatakan, pihaknya terbuka untuk penelitian lanjutan terkait vape. "Kami berharap BPOM dan Kemenkes mengajak kami untuk membuat sebuah penelitian tentang vape," kata dia. Bukan apa-apa, penelitian dirasa perlu untuk memperjelas segala dampak dari penggunaan vape yang masih simpang siur.
Belum adanya regulasi terkait peredaran vape juga menambah kekhawatiran di tengah masyarakat. Tak sedikit dari remaja yang tergiur oleh asap yang mengepul dari corong perangkat elektronik itu.
Berdasarkan data yang tercatat, prevalensi perokok elektronik pada penduduk berusia 10-18 tahun mengalami lonjakan yang signifikan. Angka itu melonjak dari 1,2 persen pada 2016 (Sirkesnas 2016) menjadi 10,9 persen pada 2018 (Riskesdas 2018). Faktor pencarian identitas diri yang ingin dianggap keren pada remaja jadi salah satu pasalnya. "Mereka mencari penilaian dari lingkungan sosialnya," ujar psikolog klinis Gracia Ivonika.Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri telah melakukan beberapa studi terkait vape. Hasil studi memberikan rekomendasi bahwa rokok elektrik menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan potensi manfaat bagi kesehatan masyarakat. Hasil studi itu hadir lengkap dengan policy paper yang telah dikirimkannya pada sejumlah instansi terkait.
Sejumlah pihak telah mendorong adanya regulasi terkait peredaran vape. Diketahui saat ini, regulasi yang ada hanya sebatas pada penetapan cukai terhadap produk rokok elektrik.
Apa saja ancaman yang muncul dari tren penggunaan vape ini? Bagaimana pemerintah menyikapinya? CNNIndonesia.com mencoba mengulasnya dalam fokus 'Ancaman Maut Vape'. (asr)
No comments:
Post a Comment