Menurut dia, kondisi perekonomian China yang melambat akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) telah memengaruhi penurunan harga karet. Padahal, China adalah negara net importir karet, diikuti India.
Permintaan karet di dunia masih didominasi oleh China, Eropa Barat, AS, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Bahkan, China mendominasi permintaan karet alam global dengan pangsa pasar 40,5 persen dari konsumsi dunia.
"Pertumbuhan ekonomi China menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap permintaan karet alam di dunia. Sementara, situasi saat ini tidak menguntungkan lantaran perang dagang," ujar Rudi, seperti dilansir Antara, Jumat (4/10).
Faktor kedua yang menyeret harga karet, yaitu pasokan berlebih di pasar ekspor, karena kemunculan negara produsen baru untuk komoditas karet, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.Sebelumnya, produksi karet alam hanya ditopang oleh enam negara, yakni Thailand, Indonesia, Vietnam, India, China, dan Malaysia, dengan pangsa pasar sebesar 85,1 persen.
Faktor lain, harga karet di pasar berjangka internasional, yaitu harga yang terbentuk di Singapura (SICOM) menjadi acuan transaksi oleh para pelaku usaha karet alam. Selain bursa SICOM, bursa Tokyo (TOCOM), dan Shanghai Future Exchange juga ikut berperan dalam pembentukan harga karet alam dunia.
"Sudah lama disinyalir bahwa mekanisme pembentukan harga (price discovery platform) di SICOM tidak sepenuhnya mencerminkan faktor fundamental suppy dan demand karet alam dunia," imbuh Rudi.
Tidak hanya itu, harga karet di pasaran internasional juga bergantung dengan kurs valas, yaitu harga komoditas berhubungan dengan nilai tukar mata uang regional terhadap dolar AS. Apabila penguatan kurs dolar AS menjatuhkan nilai tukar mata uang lain, maka akan berpengaruh terhadap harga karet dunia.Faktor lainnya, yakni perkembangan industri otomotif dan ban yang saat ini terpengaruh perlambatan ekonomi dunia. Akibatnya, terjadi penurunan permintaan mobil. Sementara, sebanyak 70 persen karet alam dikonsumsi untuk industri ban.
Terakhir, kondisi alam memengaruhi harga karet. Pada 2017 lalu, misalnya, bencana banjir di Thailand dalam skala yang cukup besar membuat petani tidak bisa melakukan penyadapan sama sekali. Kondisi ini berakibat pada ketatnya pasokan karet alam ke pasar global.
[Gambas:Video CNN]
Kemudian, terjadi serangan penyakit gugur daun pestalotiopsis sp yang membuat produksi karet alam turun hingga lebih dari 15 persen. "Produksi karet alam di tiga negara ITRC hingga Agustus 2019 diperkirakan hanya mencapai 480 ribu ton, namun belum berdampak terhadap kenaikan harga," jelasnya.
Sekadar informasi, harga karet pada 2019 masih berada di bawah standar, yaitu hanya US$1,3 per kilogram FOB. Di tingkat petani, harganya hanya sekitar Rp5.000-Rp7.000/kg, dan di kelompok tani berkisar Rp8.000-Rp9.000/kg.
(bir) from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2LL316o
No comments:
Post a Comment