Pages

Friday, September 27, 2019

Srimulat, Raja Komedi Indonesia yang Tersapu Zaman

Jakarta, CNN Indonesia -- Gelak tawa ratusan penonton di Auditorium Balai Pemuda Surabaya pecah pada suatu malam Minggu di tengah Agustus 2019. Langit cerah, tapi udara terasa lembab di kulit.

Mereka bertahan di tengah-tengah kondisi yang gerah itu untuk melihat pertunjukan suatu grup lawak legendaris Indonesia, Srimulat.

Tawa penonton makin riuh ketika satu sosok gempal dengan berpakaian ala-ala Srikandi muncul dari balik panggung. Kemben nuansa merah dan hitam dipadu dengan kain berwarna senada melekat pada sosok pria yang berdandan wanita.

Konon, itu Srikandi.

Namun Srikandi yang ini bukan sosok perempuan pemanah seperti yang saya --milenial ibu kota-- pahami. Alih-alih busur panah, ia membawa tongkat ala Sailor Moon. Ada sayap ala cupid menempel di punggung.

"Aku kuupu-kupu yang lucuuu," senandung pemain waria bernama Mami Okta itu. Ia berlagak konyol di atas panggung dan memelesetkan lagu anak-anak 'Kupu-Kupu' buatan Ibu Sud.

Sebagian penonton tertawa. Ada juga yang bersorak.

Mami Okta kemudian berdialog dengan pemain Srimulat lainnya bernama Eko 'Kucing', dengan bahasa Jawa Timuran yang tak begitu saya pahami.

Memang tertawa itu menular. Mereka terbahak, saya sedikit tersenyum, karena tak mengerti betul dialognya. Tapi, saya baru mengerti kalau guyonan mereka sedikit cabul atau mengumpat khas orang Surabaya: "Janc*k!!".

Srimulat, Pujaan Komedi Indonesia yang Tersapu ZamanFoto: CNN Indonesia/Safir Makki
Terlepas dari keterbatasan memahami bahasa, yang jelas-jelas terdengar adalah tawa penonton. Bahkan, dari tempat duduk di paling belakang sekaligus paling atas, saya lihat ada yang terpingkal-pingkal.

Padahal Srimulat yang sedang manggung itu bukan Srimulat yang diisi oleh nama-nama terkenal seperti Asmuni, Timbul, atau Gogon. Srimulat ini adalah yang bertahan di antara 'hidup dan mati' selepas tak lagi muncul di televisi.

Nyatanya Srimulat masih jadi kegemaran masyarakat kota Pahlawan. Bertahan di tengah-tengah arus deras komedi slapstick receh ala televisi dan stand-up ala Barat.

Kenangan tawa yang dirasakan para penonton di Balai Pemuda itu mungkin tak jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh Nugrahani Siswandi.

Wanita 50 tahun yang jadi penggemar Srimulat ini masih ingat ketika diajak bapaknya menonton grup itu di Taman Ria Senayan Jakarta, di antara dekade '80-an.

"Nah dulu kalau nonton Srimulat itu seru. Jadi kalau ceritanya seru terus pemainnya bagus, rata-rata penontonnya pada ngelemparin rokok atau apalah," kenang Nugrahani, dalam kesempatan terpisah.

"Dua kali sih nonton Srimulat secara langsung. Waktu itu tokoh yang hit itu Gepeng, lagi naik daun. Waktu itu tuh lagi rame banget, happening kalau zaman sekarang mah," lanjutnya.

'Happening' karena Dekat

Nugrahani menjadi satu dari jutaan penonton yang terkesan dengan penampilan Srimulat, grup yang dibentuk Raden Ayu Srimulat dan Teguh Slamet Rahardjo pada 1951.

Teguh dan Srimulat saling jatuh cinta dan di malam pernikahan membentuk bernama Gema Malam Srimulat, setelah masing-masing memiliki pengalaman menghibur penonton sambil keliling kampung.

Kolase foto Teguh dengan Srimulat di masa muda.Srimulat dan Teguh membangun Gema Malam Srimulat pada 1951. (Dok. Eko Saputro)
Grup ini cukup punya modal nama berkat Srimulat yang sudah beken sebagai sinden. Ditambah dengan kejeniusan Teguh dalam mencari talenta, cerita, serta kemampuan mengurus orang, Gema Malam Srimulat perlahan tapi pasti semakin beken.

Kala itu mereka menampilkan pertunjukan dengan komposisi musik lebih banyak dibanding lawak. Namun ketika Srimulat meninggal pada 1968 dan Teguh memegang nakhoda sendirian, komposisi lawak jadi menu utama dibandingkan musik.

Srimulat pun memiliki cabang tetap di Bale Kambang Solo dan Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Bahkan ada gedung pertunjukan berkapasitas 300 orang khusus Srimulat di THR.

Ketenaran Srimulat tak bisa dilepaskan dari berbagai unsur budaya dan komedi yang kawin di dalamnya.

Buku Indonesia Tertawa, Srimulat sebagai Sebuah Subkultur karya Anwari pada 1999 menilai bahwa grup ini memiliki konsep dagelan Mataram yang sudah ada di masyarakat sebagai dasar pijakan penampilan.

Dagelan Mataram sendiri merupakan gaya lawak tradisional Jawa dengan ciri utama monolog atau yang disebut ngudarasa dengan dialog berlogika bengkok. Sejumlah cerita yang dimainkan Srimulat merupakan kisah asli dagelan Mataram, seperti Dadung Kepuntir, Den Bei, Pinter Keblinger, Melik Kecelik.

Teguh dengan cerdik mengganti judul bila sebuah cerita dimainkan ulang, tapi tetap memiliki kisah yang sama. Dengan Dagelan Mataram, Srimulat seutuhnya menggunakan bahasa Jawa agar dekat dengan penonton dan minim adegan slapstick.

Hal ini yang dianggap sebagai modal awal Srimulat bisa diterima oleh masyarakat. Apalagi, modifikasi Teguh kala itu membuat penampilan dagelan tradisional yang dibawakan Srimulat lebih terasa segar.

Srimulat, Pujaan Komedi Indonesia yang Tersapu ZamanModal Srimulat bisa tenar di masanya bukan semata karena dagelan Mataram. (Dok. Eko Saputro)
Budi 'Vera' Herawati, pemain Srimulat Surabaya yang sudah bergabung sejak 1977, juga menegaskan peran penting Teguh saat berbincang dengan kami, Agustus lalu.

"Peran saya hampir-hampir mirip. Namun tidak sama persis. Itulah istimewanya pak Teguh, selalu beda. Kadang-kadang saya menyamar jadi pembantu padahal saya ini polisi. Ada-ada saja," kata Vera.

Namun menurut Soerjo Wido Winarto, akademisi Seni Tari dan Musik Universitas Negeri Malang, modal Srimulat bisa tenar di masanya bukan semata karena dagelan Mataram.

"Kalau Srimulat itu saya kira banyak pengaruh dari mana-mana. Karena Srimulat terbuka sekali, jadi orang-orangnya itu banyak dari ludruk dan ketoprak," kata Wido saat dihubungi dalam kesempatan terpisah.

Ketoprak merupakan salah satu pertunjukan tradisional Jawa yang berciri cerita kehidupan keraton alias aristokratis dan mutlak menggunakan bahasa Jawa.

Oleh Teguh, ciri ini kemudian diadaptasi menjadi cerita yang memiliki karakter berkasta seperti majikan dengan pembantu.

Sementara Ludruk yang memiliki latar cerita kehidupan masyarakat kelas bawah dan selalu dibuka dengan musik, menjadi inspirasi Teguh untuk menambahkan bumbu hiburan lain sebagai pemanis, serta menciptakan karakter yang akrab dengan masyarakat seperti pak RT, hansip, dan lain-lain.

"Pas tengah-tengah manggung, kadang-kadang ada istirahat sebentar, terus nanti lanjut lagi. Jadi ya kurang lebih satu setengah sampe dua jam lah pertunjukan Srimulat. Tapi tidak membosankan kok," kata Nugrahani mengenang pertunjukan Srimulat.

Namun Nugrahani tak menolak ketika ada alasan lain dirinya menggemari Srimulat selain karena memang amat jenaka.

"Kedua mungkin ada ini ya, Srimulat tuh kan dari Jawa, saya juga orang Jawa. Sama-sama Jawa lah istilahnya," katanya.

Johny Gudel merupakan salag satu pelawak andalan Aneka Ria Srimulat. Ia masuk saat masih bernama Gema Malam Srimulat pada 1956.Johny Gudel merupakan salah satu pelawak andalan Aneka Ria Srimulat. Ia masuk saat masih bernama Gema Malam Srimulat pada 1956 yang kental dengan dagelan Mataram. (Dok. Teguh)
Barometer Pentas Indonesia

Candu tawa Srimulat semakin menyebar luas ketika menginjakkan kaki di Jakarta pada 1972.

Kala itu, Srimulat berkesempatan bermain di Taman Ismail Marzuki dan mengenalkan lawakannya kepada masyarakat ibu kota. Kemudian, mereka berpindah dan bermarkas di Taman Ria Senayan sekaligus jadi cabang Srimulat di Jakarta.

Mereka sebenarnya masih menyajikan pola lawak yang sama dengan penampilan di THR. Hanya bahasa yang berbeda, yaitu dengan bahasa Indonesia. Namun beberapa kali masih menggunakan bahasa Jawa karena sejumlah candaan sulit untuk dialihbahasakan.

Hal ini tak mengurangi kadar kelucuan mereka. Masyarakat Jakarta menyambut hangat Srimulat. Bahkan, Vera yang pernah menginjakkan kaki di Taman Ismail Marzuki dan Taman Ria Senayan menyebut masyarakat ibu kota mudah dibuat ketawa.

"Orang Jakarta itu paling gampang dibohongin. Dibohongin di panggung. Masak cuma diginiin saja lucu. Makanya orang Srimulat kalau main ke Jakarta tuh senang," kata Vera.

"Orang Jakarta tuh kayaknya gampang banget ketawa. Enggak kayak orang Surabaya. Di Surabaya, tuh aduh sampai ngiler. Susah dibuat tertawa," lanjutnya.

Mungkin Vera, dan bisa jadi sebagian besar pemain Srimulat yang lain, tak merasa banting tulang untuk membuat penduduk ibu kota tertawa. Tapi hal ini berhasil menarik minat Dedi Setiadi, salah satu orang yang bertanggung jawab membuat seluruh Indonesia mengenal Srimulat.

Srimulat, Pujaan Komedi Indonesia yang Tersapu ZamanBudi 'Vera' Herawati bergabung dengan Srimulat Surabaya pada 1977. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Di masa mudanya, Dedi adalah mantan pengarah acara Aneka Ria Srimulat TVRI yang tayang 1981 hingga 1987.

Dedi masih ingat ketika pada 1981, ia bersama bosnya di TVRI bepergian ke Solo untuk melihat pertunjukan yang jadi pergunjingan komunitas seni di Jakarta kala itu. Apalagi kalau bukan Srimulat.

"Saya dengar dari mulut ke mulut. Saya kan ada kenalan grup kesenian. Ada yang membahas soal Srimulat dan sudah ada namanya. Ada juga beritanya di media, mereka menarik perhatian," kata Dedi Setiadi, saat berbincang dengan kami di sela masa pensiunnya, jelang akhir Agustus 2019.

Kenangan 38 tahun lalu langsung menyeruak di benak Dedi saat kata Srimulat muncul dari pertanyaan kami.

"Saya pernah menonton pertunjukannya di Solo dan di Surabaya. Pertunjukannya luar biasa," katanya.

"Dan banyak yang fanatik menonton setiap hari dan sepertinya ada saweran, melempar rokok, makanan, dan sebagainya. Mereka punya idola masing-masing. Waktu itu yang paling dominan laki-lakinya Gepeng, ceweknya itu Susi," lanjutnya.

Dedi dan bosnya kala itu langsung mendekati Teguh untuk mengajak Srimulat tampil di TVRI. Pernah menjajaki Jakarta dan kerap tampil di ibu kota, peluang mentas di satu-satunya televisi Indonesia kala itu tak disia-siakan.

"Saya melihat perubahan mereka amat seru. Waktu itu mereka datang [ke Jakarta] kayak transmigran. Bawa gembolan, ada dari taplak meja, sarung. Pakaiannya masih seperti itu. Mereka dibawa sama Teguh." kata Dedi.

Segala persiapan membawa Srimulat ke layar kaca pun dilakukan. Termasuk mengonsep dan menyesuaikan penampilan pentas mereka yang sesuka hati ke dalam layar kaca yang terbatas durasi.

Dedi pun harus berpikir keras.

Srimulat, Pujaan Komedi Indonesia yang Tersapu ZamanDedi Setiadi, mantan pengarah acara Aneka Ria Srimulat TVRI yang tayang 1981 hingga 1987. (CNN Indonesia / Endro Priherdityo)
Akhirnya Dedi meminta Srimulat tampil dengan sistem blocking per kelompok. Dedi juga meminta para pemain Srimulat tidak melucu dengan 'keroyokan' dengan tujuan agar ia dapat mengabadikan seluruh momen jenaka.

Bukan hanya itu. Dedi juga memaksa mereka untuk pentas dalam sejam. Padahal biasanya bisa tiga hingga empat jam mentas di atas panggung kampung. Selain itu, Dedi mensyaratkan banyak pantangan untuk dibahas, seperti soal SARA. Tantangan yang kemudian disanggupi Teguh dan Srimulat.

Perlahan tapi pasti, Srimulat mampu menghasilkan formula baru mentas lawak di televisi. Teguh bahkan bia membuat judul-judul pentas dengan sederhana namun menarik perhatian, seperti 'Istri yang Setia'.

"Srimulat itu bukan sekadar grup lawak. Mereka fenomenal. Banyak hal spesifik di Srimulat dan masih jadi inspirasi sampai sekarang. Formula dan ide seperti judul itu dipakai oleh sinetron sampai saat ini," kata Dedi.

Tersapu Zaman

Namun komika Ernest Prakasa memiliki pandangan berbeda. Ia mengakui memang Srimulat memiliki andil cukup besar sebagai inspirasi dunia komedi di Indonesia. Tapi perubahan zaman tak bisa ditampik ikut memengaruhi selera dari masyarakat.

Kepada kami, Ernest berpendapat bahwa Srimulat berjaya di puluhan tahun lalu memang karena tren komedinya yang diterima oleh masyarakat, sama seperti Charlie Chaplin dan Three Stooges yang membawa tren slapstick dari dekade '20-an hingga '70-an.

"Sekarang mulai bergeser, jadi ya kalau ditanya mengapa bisa Srimulat sebesar itu mungkin dulu memang tren [komedi]nya di situ. Kemudian, juga tidak ada kompetitor," kata Ernest.

Srimulat, Pujaan Komedi Indonesia yang Tersapu ZamanKomika Ernest Prakasa berpendapat bahwa Srimulat berjaya di puluhan tahun lalu memang karena tren komedinya yang diterima oleh masyarakat. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Gaya Srimulat yang terkenal di TVRI juga sempat diadopsi oleh acara-acara sketsa komedi di sejumlah stasiun televisi swasta di era milenium. Bahkan, berbagai acara televisi itu menggandeng aktor atau selebritas untuk menambah daya tarik. Tak ayal hal ini mengurangi pamor Srimulat.

Acara-acara sketsa komedi yang meniru gaya Srimulat itu kemudian semakin dikembangkan, hingga nyaris berbeda dari Srimulat. Tak jarang, acara komedi di era milenium lebih banyak adegan slapstick alih-alih dialog yang mengundang gelak tawa.

"Kalau di Srimulat ada semacam pakem. Tidak seperti sekarang ini," kata Vera.

"Kalau peranan muda, cantik, primadona, itu tidak boleh 'ndagel'. Kalau sekarang saya lihat cewek-cewek di televisi ndagel saja seenaknya. Ya mungkin zamannya sudah beda."

Tren memang mulai bergeser dan membuka pintu untuk jenis dagelan lainnya. Di tengah kejenuhan akan komedi slapstick, dagelan ala stand-up mulai bermunculan sebagai alternatif. Ernest menilai, perubahan ini mulai terjadi pada 2011.

"Tren komedi saat itu agak sedikit bergeser dari slapstick jadi verbal. Misalnya komedi panggung yang enggak perlu baju lucu-lucu, enggak perlu ramai-ramai," kata Ernest yang telah menelurkan sejumlah film komedi yang terbilang laris di pasaran itu.

"Hanya mengandalkan kekuatan verbal ternyata bisa jadi bentuk hiburan baru yang diterima," lanjutnya.

Perubahan ini pula yang disebut Ernest mungkin jadi penyebab Srimulat mundur dari panggung nasional, meskipun masih mencoba bertahan di atas panggung di daerah-daerah.

Srimulat, Pujaan Komedi Indonesia yang Tersapu ZamanIlustrasi pentas komedi: Wido maupun Ernest sepakat bahwa yang terpenting dalam bertahan di dunia komedi adalah menampilkan konten dan pesan yang kuat dan melekat di masyarakat.(CNN Indonesia/Safir Makki)
"Memang eranya sudah lewat saja. Kan namanya industri hiburan kan rodanya berputar. Kalau mungkin nanti stand-up comedy juga akan kebagian," kata Ernest.

Meski zaman telah berganti dan Srimulat kini jadi kenangan manis, baik Wido maupun Ernest sepakat bahwa rumusan bertahan di dunia komedi adalah menampilkan konten dan pesan yang kuat dan melekat di masyarakat.

Hal yang juga jadi kunci kesuksesan Srimulat.

"Dagelan itu akan bisa lebih segar, lebih mampu memikat penonton kalau itu akrab dengan penonton dan bisa menyampaikan pesan yang sehati dengan penonton, pesan apapun ya, sehati dengan penonton. Kalau tidak begitu ya hanya ketawa saja tapi tidak punya isi apa-apa," kata Wido.

"Pesan itu penting, tapi membuat tertawa itu juga penting. Bukan berarti hanya bisa membuat tertawa tapi tanpa pesan," tegas Wido.

"Konten pasti penting. Tapi sebenarnya yang penting juga konsistensi. Karena misalnya punya konten yang viral, orang suka. Tapi abis itu kita enggak bisa konsisten mempertahankan secara jangka panjang, ya pasti akan gampang terganti dengan yang lain." kata Ernest.

Pada akhirnya, kenangan akan kelucuan, pesan dan cerita kuat yang disampaikan, dan bumbu slapstick yang jenaka adalah yang menggerakkan sebagian masyarakat untuk tetap merindukan Srimulat.

Meskipun, pemain lamanya sudah di ujung senja dan pemain mudanya mencoba tetap hidup di tengah persaingan sengit di dunia komedi Indonesia. (vws)

Let's block ads! (Why?)

from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2nm8Q0m

No comments:

Post a Comment