Setelahnya aksi tersebut merembet ke Senayan Jakarta. Aksi mahasiswa di Gedung DPR berujung ricuh. Memasuki malam, korban luka berjatuhan. Puluhan pedemo dirawat di rumah sakit.
Tuntutan mereka cenderung sama, yakni menolak pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) yang kontroversial di DPR. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan dan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Mereka juga meminta Presiden Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) agar UU KPK yang baru tidak diterapkan. Kemudian, ada pula tuntutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) lekas disahkan.
Aksi mahasiswa turun ke jalan kali ini tidak bisa dianggap kecil. Jumlah mereka sangat banyak. Terlebih, aksi juga dilakukan di banyak tempat dan secara serentak.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khairul Umam menilai sikap mahasiswa di berbagai daerah itu masih tergolong autentik. Dia bicara demikian karena merujuk dari tuntutan yang disuarakan, yakni mengkritisi RUU yang mengandung kontroversi.
Menurutnya, memang wajar jika RUU kontroversi ditolak untuk disahkan oleh DPR periode sekarang. Di samping pembahasannya yang cenderung kilat, banyak pula pasal-pasal yang tergolong kontroversial
Kendati begitu, Khairul mengatakan ada potensi gelombang unjuk rasa mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Khairul mengatakan setidaknya ada tiga elemen yang turut menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.
Pertama, yakni elemen yang benar-benar ingin menyampaikan kritik. Tidak lain dan tidak bukan, mereka adalah mahasiswa di berbagai daerah yang turun ke jalan.
Kelompok kedua adalah pihak yang ingin menunggangi demo para mahasiswa.
"Ada elemen yang mereka berusaha untuk mengambil keuntungan dari situasi chaos ini. Sekarang kan pemerintah sedang menghadapi tiga masalah yang sedang dihadapi soal asap, KPK dan Papua," ujar dia.
Mahasiswa berunjuk rasa di berbagai daerah (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
|
"Jadi harus dipisahkan dengan benar, mana kekuatan yang genuine, mana menggunakan narasi yang tidak produktif. Secara politik muncul 'turunkan Jokowi', itu sudah keluar dari pakem yang diperjuangkan," ungkap dia.
"Bahkan ada upaya inkonstitusional untuk tidak melantik presiden dan wakil presiden. Ini bukan bagian dari mahasiswa," lanjutnya.
"Mereka merasa dikhianati mereka merasa dikecewakan pemerintahan," ungkap dia.
Direktur Indonesia Public Institute Karyono Wibisono mengamini ada mahasiswa yang murni ingin berdemonstrasi. Namun menurutnya, ada pula irisan dari kelompok tertentu yang ingin mengambil kesempatan lain.
"Ada irisan di dalamnya kalau kita petakan ini ya tentu ada irisan berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Ada potensi pihak yang menggerakkan aksi demonstrasi," ujar dia kepada CNNIndonesia.com.
Biasanya pihak yang memiliki agenda terselubung akan menyuarakan narasi berbeda dari mahasiswa lain. Ketika kelompok mahasiswa menyuarakan tentang penolakan UU KPK dan RKUHP, maka kelompok lain akan menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintah."Mereka biasanya akan mengutarakan kekecewaan atas ketidakpuasan revisi UU KPK itu saja tanpa penjelasan yang rasional," ungkap Karyo.
Untuk membedakan tuntutan murni dan yang ditunggangi, Karyo mengusulkan agar mahasiswa juga melakukan upaya hukum. Misalnya dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Menurut Karyo langkah ini jauh lebih konkret untuk memperjuangkan ketidakadilan.
"Kalau memang kemudian ada pasal yang bertentangan dengan UUD, MK bisa membatalkan pasal tersebut. Saya kira ini lebih baik dibandingkan dengan aksi ekstra jalanan meskipun boleh saja sebagai ekspresi diri," tutup dia.
Demo mahasiswa berujung rusuh tak hanya terjadi di Jakarta. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa tewas usai bentrok dengan aparat. Salah satunya meregang nyawa usai peluru menembus dada.
Sementara di Makassar, kericuhan tak terhindarkan setelah aparat kepolisian menindak pedemo tanpa ampun.
No comments:
Post a Comment