"Mudah-mudahan POJK-nya akan segera keluar, di situ kami perjelas pelaksanaan merger, akuisisi, dan konsolidasi," kata Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK Ayahandayani, Jumat (3/5).
Ia menuturkan OJK akan memberikan insentif bagi BPR yang bersedia melakukan konsolidasi. Salah satu insentif yang diberikan adalah keringanan dalam proses sertifikasi. Saat ini, seluruh proses tersebut sedang dalam proses finalisasi.
"Kalau BPR merger dananya lebih besar dan harus ada sertifikasi yang harus dilalui. Nah ini kami kesampingkan dulu. Kami berikan mereka waktu untuk pemenuhannya," imbuhnya.
Ia menuturkan penguatan modal menjadi modal utama bagi BPR untuk menghadapi ketatnya persaingan sektor jasa keuangan. Tantangan utama BPR saat ini, katanya, adalah kemunculan layanan keuangan digital (financial technology/fintech) khususnya peer to peer lending (p to p).
Kemunculan fintech tersebut memaksa BPR untuk menyesuaikan baik dari sisi teknologi, manajemen risiko, dan lainnya sehingga mampu bersaing di ranah jasa keuangan. Atas dasar itu, OJK sebagai regulator telah menerbitkan berbagai aturan guna mendukung pengembangan BPR.
"Kalau BPR kecil-kecil (modal inti) dan mereka harus memenuhi ketentuan yang sudah kami keluarkan mengenai tata kelola, pemenuhan manajemen risiko, standar teknologi informasi, kami melihat kalau mereka tidak memiliki modal yang cukup maka mereka tidak mampu memenuhi," jelasnya.
Lewat Peraturan OJK (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat, OJK menetapkan modal inti minimum BPR sebesar Rp6 miliar.
Per Januari 2019, tercatat sebanyak 722 BPR dari 1.597 BPR belum memenuhi ketentuan modal inti minimum. Rinciannya, sebanyak 374 BPR masih memiliki modal inti di bawah Rp3 miliar dan sebanyak 348 BPR memiliki modal inti di bawah Rp6 miliar.
[Gambas:Video CNN] (ulf/lav)
from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2LmbY8b
No comments:
Post a Comment