Kini, sekitar 30 tahun usai kelahiran adik terakhirnya, panggilan itu menjadi nyata.
Pada 2015, HB X menganugerahinya gelar Mangkubumi. Namanya menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Ia menjadi perempuan pertama dalam Kesultanan Yogyakarta yang mendapat gelar Mangkubumi, meski belum pasti naik takhta jadi sultanah.
Ditemui CNNIndonesia.com di Bangsal Trajumas, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta beberapa waktu lalu, GKR Mangkubumi yang baru saja menyelesaikan latihan Tari Bedhaya Sang Amuwarbumi menceritakan masa kecilnya sebelum kini sosoknya jadi kontroversi.
Ditemani matahari yang mulai terbenam di ufuk barat, sambil sesekali mengelap peluh di wajahnya, GKR Mangkubumi mengenang bagaimana masa kecilnya tak terbelenggu tembok Keraton meski ia calon pewaris takhta. Ia bahkan dibiarkan mengenyam pendidikan di sekolah publik.
"Yang membedakan adalah kita mempunyai tanggung jawab yang lebih karena kita punya kewajiban untuk mengemban budaya yang ada di Keraton dan melestarikan," katanya.
Untuk itu, sejak remaja ia sudah diajari bagaimana menjadi mandiri oleh orang tuanya. Ia dibiarkan hidup jauh dari rumah. Sempat bersekolah di SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, ia meneruskan pendidikan di International School of Singapore, Singapura.
Dari Singapura, ia merantau lebih jauh lagi demi wawasan dan pengalaman. GKR Mangkubumi sempat berkuliah di beberapa universitas di California, Amerika Serikat, sampai akhirnya berlabuh dan lulus di Griffith University Brisbane, Queensland, Australia.
GKR Mangkubumi berpeluang menjadi sultanah pertama Jawa. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)
|
"Sejauh-jauhnyanya kalian pergi untuk mengejar pengetahuan atau ilmu, harus diingat bahwa kalian bagaimana pun juga adalah orang Timur yang harus terus mengetahui adat dan istiadat kalian dilahirkan," kata GKR Mangkubumi menirukan pesan orang tuanya.
Setelah lulus dan kembali ke Indonesia, GKR Mangkubumi menduduki sejumlah posisi penting. Mulai dari memimpin beberapa perusahaan milik Keraton, sampai menjabat sebagai Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka DIY dan Ketua Kadin DIY.
Di dalam Keraton, ia juga punya andil. Ia menjadi pemimpin kegiatan keputren (bagian istana tempat tinggal para putri raja). Ia juga memimpin keempat adiknya.
GKR Mangkubumi didukung adik-adiknya. (ANTARA FOTO/Regina Safri)
|
Adik-adiknya pun mendukung ia sebagai penerus sang ayah.
Tanggung jawabnya bertambah ketika HB X memberinya gelar Mangkubumi melalui Dawuh Raja, 5 Mei 2015 silam. Dengan gelar itu, perempuan yang terlahir dengan nama Gusti Raden Ajeng Nurmalita Sari itu bertugas membantu ayahnya, baik sebagai sultan maupun Gubernur DIY.
Tanggung jawabnya jelas lebih berat. Ia sendiri memilih menjadikan tanggung jawab berat itu sebagai tantangan, dan optimistis bisa menyelesaikannya, meski butuh waktu.
"Masih banyak sekali pelajaran yang harus kami pelajari, yang dulu tidak pernah kami ketahui mengenai hal-hal seperti itu. Jadi kami learning by doing," kata GKR Mangkubumi.
"Tantangan sebagai anak perempuan harus mampu menjalankan tugas yang diberikan. Juga masuk ke dalam struktur organisasi Keraton sekarang, bagaimana kita juga mengelola birokrasi Keraton," ia melanjutkan. Menurutnya, ada yang berubah soal peran perempuan dalam Keraton.
Pada masa kepemimpinan HB I sampai HB VIII, ia menilai, perempuan diposisikan di belakang pria. Posisi perempuan mulai berubah saat Keraton dipimpin HB IX.
"Bapak saya, karena anaknya perempuan semua, itu juga menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua bahwa perempuan itu harus mandiri, punya karakter kuat karena calon pemimpin masa depan, apa pun yang dipimpin," katanya menceritakan.
Kini dirinya sudah semakin dekat dengan tampuk kepemimpinan sejak bergelar Mangkubumi.
Pemberian gelar itu bagai kanker dalam tubuh Keraton. Adik-adik HB X tidak setuju dengan keputusan tersebut. GBPH Yudhaningrat dan GBPH Prabukusumo bisa dibilang yang paling vokal menentang pemberian gelar itu. Menurut GBPH Yudhaningrat pemberian gelar itu menyalahi adat dan paugeran (aturan Keraton) yang dibangun selama ribuan tahun.
HB X usai bersabda memberi gelar Mangkubumi pada putri pertamanya, yang menimbulkan kontroversi. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
|
Namun menurut GKR Mangkubumi, gelarnya tidak menjamin ia menjadi penerus takhta. Yang pasti, ia yakin tidak ada arsip keraton yang membedakan mana boleh dan tidak boleh. Ia pun tidak ambil pusing menanggapi kontroversi yang berpusat pada dirinya.
"Itu yang pasti ya bagi kami. Bagi saya kan juga belum ditentukan juga. Bagi saya, terserah saja persepsi masyarakat akan seperti apa," kata GKR Mangkubumi.
Ia tidak menjawab secara pasti ketika ditanya apakah akan ada perubahan bila dirinya naik takhta nanti. Yang pasti, jadi sultan maupun sultanah, tidak boleh punya ambisi pribadi.
"Kalo kita tanggung jawab yang sifatnya amanah, tak boleh berambisi. Karena kalau kita punya ambisi berarti segala kekuatan akan kita pertaruhkan untuk suatu hal," ujarnya.
"Kalau amanah itu kan kita bicara, kalau kita dapat amanah kan harus jalani. Kalau enggak dapet ya ya sudah, kita jalani tanggung jawab saja gitu," lanjutnya. (adp/rsa)
from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2GPbC7Q
No comments:
Post a Comment