Dikutip dari Reuters, sepanjang tahun lalu, harga minyak mentah berjangka Intermediate West Texas Intermediate (WTI) AS merosot hampir 25 persen, sementara Brent anjlok lebih dari 19,5 persen.
Harga minyak sempat menanjak hingga Oktober saat Amerika Serikat memberikan keringanan yang lebih besar dari yang diperkirakan kepada importir minyak Iran dan permintaan di negara berkembang mulai merosot.
Namun, harga minyak kembali terseret turun oleh kekhawatiran kelebihan pasokan dan sanksi baru AS terhadap Iran yang mengemuka beberapa waktu terakhir. Keputusan akhir tahun OPEC dan sekutunya Rusia untuk menurunkan produksi minyak bahkan tak cukup mengerek harga minyak.
"OPEC ada di luar sana memotong, tetapi pasar tidak benar-benar menghargai itu," ujar Phillip Streible, ahli strategi pasar senior di RJO Futures.
Harga minyak turun lebih dari sepertiga kuartal ini, penurunan kuartalan paling curam sejak kuartal keempat 2014.
Minyak mentah berjangka mencatat kenaikan moderat pada hari Senin (31/12). Brent menetap naik 59 sen, atau 1,1 persen, pada US$ 53,80 per barel, sementara WTI menetap 8 sen lebih tinggi pada US$ 45,41 per barel.
Berdasarkan jajak pendapat Reuters, analis telah berubah pesimis atau bearish pada 2019. Sebuah survei terhadap 32 ekonom dan analis memperkirakan harga Brent rata-rata $ 69,13 tahun depan, lebih rendah $US5 dari proyeksi bulan lalu, juga lebih rendah dibandingkan dengan harga riil rata-rata minyak US$71,76 pada 2018.
Brent, patokan global, naik hampir sepertiga antara Januari dan Oktober, ke level tertinggi US$86,74 sejak akhir 2014. Harga naik hampir sepanjang tahun melanjutkan pemulihan pada 2017. Sanksi AS yang diperbarui terhadap Iran mengerek harga hingga Oktober.
Namun, ketika Washington secara tak terduga memberikan keringanan sanksi kepada pembeli minyak terbesar Iran, kekhawatiran tentang kelebihan pasokan global dan pertumbuhan ekonomi yang lambat mempengaruhi pasar.
"Produsen OPEC dan non-OPEC menemukan diri mereka bersaing dengan pasokan tambahan dari AS yang membanjiri pasar," kata Andy Lipow, Presiden Lipow Oil Associates di Houston.
OPEC+ membuka keran di musim gugur karena permintaan mengurangi persediaan global, kemudian berbalik arah mengurangi pasokan karena harga jatuh.
Kelompok produsen sekarang berencana untuk memotong 1,2 juta barel per hari (bpd) mulai 1 Januari. Langkah ini diambil sebagai kekhawatiran perang perdagangan AS-Cina, penurunan harga saham AS dan meningkatnya produksi serpih AS dan suku bunga akan mengganggu permintaan global mendorong minyak mentah menurunkan.
Tweet oleh Presiden AS Donald Trump yang mengklaim kemajuan pada kemungkinan kesepakatan perdagangan AS-China mendorong harga minyak mentah naik lebih dari 2 persen pada awal perdagangan Senin. Tetapi harga minyak turun karena para pedagang fokus pada data yang menunjukkan ekonomi China melambat lebih lanjut pada bulan Desember.
Aktivitas manufaktur China menurun pada bulan Desember untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun, menurut survei manajer pembelian nasional.
Administrasi Energi AS pada Senin (31/12) mengumumkan produksi minyak negeri Paman Sam ini menembus puncaknya sejak 1970 sebesar 10,04 juta barel per hari pada November 2017, melampaui Rusia dan Arab Saudi sebagai produsen terbesar pada 2018. Ini mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa lebih dari 11,5 juta barel per hari pada bulan Oktober.
Harga minyak pun diperkirakan mandek selama berminggu-minggu ke depan sampai pemotongan OPEC mulai mempengaruhi pasokan global pada pertengahan Januari dan awal Februari. (agi)
from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2SvtWnP
No comments:
Post a Comment