Pages

Thursday, October 25, 2018

Investasi Sektor ESDM Masih Kurang Perangsang

Berdasarkan data KementerianESDM, 2014 investasi sektorESDM masih berhasil mencapai US$33,5 miliar. Investasi tersebut berasal dari sektor minyak dan gas (migas) US$21,7 miliar, mineral dan batu bara (minerba) US$8,2 miliar, kelistrikan US$3 miliar, dan Energi Baru Terbarukan (EBT) US$0,6 miliar.


Pada 2015, investasi sektor ESDM malah turun menjadi US$32,3 miliar. Investasi tersebut terus turun. Pada 2016 investasi hanya mencapai US$29,7 miliar dan tahun lalu hanya US$27,5 miliar.

Tahun ini, pemerintah tak ingin penurunan tersebut terjadi lagi. Mereka menargetkan investasi di sektor energi dan tambang tahun ini bisa mencapai US$37,2 triliun. Awal tahun kemarin, pemerintah cukup percaya diri dengan target tersebut.

Keyakinan didasarkan pada tren kenaikan harga minyak dunia. Mereka yakin kondisi tersebut bakal berdampak positif ke investasi.

Namun, hingga kuartal III tahun 2018, target tersebut masih jauh panggang dari api. Realisasi investasi masih jauh dari target yang mereka mimpikan. Pasalnya, sampai kuartal III kemarin realisasi investasi baru mencapai US$15,2 miliar atau sekitar 40,86 persen dari target.

Investasi tersebut ditanamkan di sektor migas US$8 miliar, kelistrikan US$4,8 miliar, mineral dan batu bara US$1,6 miliar; dan EBT US$0,8 miliar. Penurunan investasi paling besar berada pada sektor migas di mana pada 2014 lalu realisasinya mencapai US$21,7 miliar kemudian merosot menjadi US$17,9 miliar pada 2015, US$12,7 miliar pada 2016, dan US$11 miliar pada 2017.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan salah satu faktor penentu investasi di bidang energi adalah harga minyak. Tak heran, sejak harga minyak turun hingga di bawah US$30 per barel pada 2016 lalu, investasi sektor migas yang memiliki kontribusi terbesar pada sektor energi terus tertekan.

Melihat tren harga minyak dunia yang kini sudah menembus US$70 per barel, Komaidi menilai investasi sektor energi akan mulai bangkit perlahan-lahan. "Harga minyak dan gas seharusnya sudah mulai membaik dan menjadi insentif untuk investasi," ujarnya Komaidi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/10).

Kendati demikian, Komaidi mengingatkan harga minyak bukan menjadi faktor penentu satu-satunya keputusan investor untuk menanamkan dananya di Indonesia. Faktor lain, iklim, daya saing dan juga keuntungan investasi.

Berkaitan dengan keuntungan ini, Komaidi mengatakan pengembalian investasi kurang kompetitif dibandingkan negara lain. Karenanya, masalah tersebut perlu diperbaiki. "Kurang kompetitifnya pengembalian investasi tersebut disebabkan oleh banyak faktor baik tenis maupun non teknis yang menyebabkan investasi gas di Indonesia berbiaya tinggi," ujarnya.

Dari sisi teknis, faktor tersebut salah satunya berkaitan dengan lokasi lapangan minyak yang belum dieksplorasi. Kebanyakan lapangan tersebut berada di wilayah timur. 

Eksplorasi lapangan tersebut membutuhkan modal besar karena lokasinya terpencil dan sulit terjangkau. Sementara dari sisi non teknis, investasi di sektor ESDM masih banyak terganjal oleh proses perizinan yang berbelit.

Masalah tersebut mengurangi nafsu investor untuk datang ke Indonesia. Masalah tersebut sebenarnya sudah disadari pemerintah.

Di bawah Pemerintahan Jokowi, mereka telah berupaya memangkas dan menyederhanakan aturan dan izin investasi. Namun, implementasinya di lapangan masih tanda tanya.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan agar keterpurukan investasi sektor energi, khususnya di sektor Energi Baru dan Terbarukan, tidak semakin menjadi, pemerintah perlu mempercantik kemasan investasi dan keuntungan yang ditawarkan.

Menurut Surya, investasi di sektor EBT tahun ini relatif stagnan. Salah satu penyebabnya adalah formulasi dari tarif listrik EBT yang kurang menarik. Pasalnya, besaran formulasi tarif maksimal hanya 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) regional.

"Kalau investasi tidak bisa mendapatkan jaminan pengembalian investasi kan susah juga," ujarnya.

Untuk mendorong investasi sektor energi, menurut Surya, pemerintah sebaiknya memberikan insentif. Insentif yang ia usulkan;  pengurangan  iuran yang dibebankan kepada investor, seperti; iuran eksplorasi.

"Kalau harga tidak bisa dinaikkan ya insentifnya diperbanyak diberikan," ujarnya.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengungkapkan investasi di sektor hulu migas, sebenarnya belakangan ini trennya sudah mulai membaik meskipun masih jauh dari target sebesar US$14 miliar.

Hingga September 2018, realisasi investasi di hulu migas baru mencapai US$7,9 miliar, atau lebih tinggi dari realisasi periode yang sama tahun lalu yang hanya US$6,7 miliar. Kenaikan terjadi karena percepatan kegiatan pengembangan dan optimalisasi produksi di lapangan migas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Di sisa tiga bulan, Wisnu optimistis realisasi invetasi di sektor hulu migas akan terjadi percepatan seperti tahun-tahun sebelumnya. "Mudah-mudahan di akhir tahun ini ada kegiatan dan program yang sudah akan selesai on track supaya kami bisa bukukan realisasinya," ujarnya.

Melihat capaian hingga kuartal III 2018, proyeksi sementara realisasi sektor hulu migas hanya akan berkisar US$11 miliar. Untuk membantu percepatan investasi, SKK Migas melakukan percepatan proses bisnis.

Let's block ads! (Why?)

from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2D4QeIX

No comments:

Post a Comment