Utang tersebut dilakukan atas beberapa subsidi. Pertama subsidi energi. Utang tersebut, sebesar Rp363,01 miliar dilakukan ke PT PLN (persero), dan Rp5,87 triliun lainnya dilakukan pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo.
Utang yang dilakukan ke Pertamina tersebut dilakukan untuk subsidi jenis bahan bakar tertentu dan LPG 3 kilogram. Kedua, utang subsidi pupuk.
BPK menyatakan sampai saat ini, pemerintah masih punya utang subsidi ke PT Pupuk Kaltim sebesar Rp945,25 miliar, PT Pupuk Kujang sebesar Rp51,56 miliar, dan PT Pupuk Iskandar Muda sebesar Rp836,43 miliar.
Selain memiliki utang, BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS) 2018 mereka menyatakan pemerintah juga memiliki kelebihan bayar subsidi sebesar Rp2,40 triliun pada lima BUMN. Lebih bayar tersebut Rp834,82 miliar mereka lakukan ke Perum Bulog, Rp92,07 miliar ke PT Pupuk Sriwidjaja Palembang dan Rp1,09 triliun lainnya pada PT Petrokimia Gresik.
Selain itu, lebih bayar sebesar Rp1,51 miliar juga mereka lakukan kepada PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) dan Rp383,71 miliar lainnya kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero.
Kepala Auditorat VII. A Suparwadi mengatakan pemerintah untuk utang subsidi, pemerintah punya kewajiban untuk segera membayarnya kepada perusahaan tersebut. Pun begitu dengan lebih bayar, perusahaan yang tercatat menerima pembayaran subsidi melebihi yang seharusnya, juga wajib mengembalikannya kepada negara.
"Konsep subsidi kalau lebih dikembalikan, kalau kurang dibayar. Jadi kalau lebih harus dikembalikan dan tidak boleh diambil karena ini uang negara," kata Suparwadi di Kantor BPK, Jakarta, Rabu (3/10).
Selain utang dan lebih bayar, BPK kata Suparwadi juga menemukan koreksi subsidi negatif senilai Rp2,99 triliun atas penyaluran subsidi dan KPP tahun 2017. Dengan koreksi ini, jumlah subsidi tahun 2017 yang harus dibayar pemerintah menjadi lebih kecil dari Rp151,28 triliun menjadi Rp148,40 triliun.
Dari jumlah tersebut, pemerintah telah membayar Rp142,73 triliun. "(Perusahaan) rata-rata dari awal tahun mengajukan tarif perkiraan, pada akhirnya nanti setelah kami audit dan teliti, kita bisa pastikan biaya (cost) rill yang boleh dan tidak boleh," jelasnya.
No comments:
Post a Comment