Nasib yang sama juga terjadi pada peserta kelas mandiri II, di mana kenaikan tarifnya lebih dari dua kali lipat yaitu dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan. Sementara, peserta mandiri kelas III bisa dibilang lebih beruntung karena kenaikannya hanya Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.
Perubahan aturan tarif untuk kelas mandiri mulai diberlakukan tahun depan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken Jokowi pada 24 Oktober 2019 lalu.
Selain peserta mandiri, BPJS juga sudah mengerek iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) mulai Agustus 2019 dan peserta pekerja penerima upah (PPU) pejabat negara, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), PNS, prajurit, anggota Polri, kepala desa, dan perangka desa per Oktober 2019. Pemerintah berharap kebijakan ini bisa mengobati defisit yang diderita oleh BPJS Kesehatan sejak lembaga ini hadir pada 2014 lalu. Lihat saja, BPJS Kesehatan membukukan defisit sebesar Rp3,3 triliun pada 2014 dan membengkak pada 2015 menjadi Rp5,7 triliun.
Kemudian, menjadi Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017. Lalu pada 2018 defisit sebesar Rp9,1 triliun.
Sementara, hitung-hitungan BPJS Kesehatan menunjukkan defisit tahun ini diproyeksi mengerucut dari perkiraan semula Rp32,8 triliun menjadi Rp13,3 triliun berkat kenaikan peserta PBI dan PPU.
Bahkan, Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Maruf mengatakan manajemen optimistis tahun depan mencatatkan surplus sebesar Rp17,3 triliun. Surplus itu terjadi lantaran ada tambahan dana dari peserta mandiri kelas I-III yang jumlah iurannya sudah mulai naik.
Ilustrasi kantor BPJS Kesehatan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
|
Sebelumnya, Sri Mulyani memang mengakui potensi surplus semakin rendah sejalan dengan beban biaya BPJS Kesehatan yang meningkat untuk membayar rawat inap. Dengan kata lain, biaya yang digelontorkan BPJS Kesehatan juga akan semakin membengkak tiap tahun, sehingga perlu evaluasi setiap beberapa tahun sekali.
Walaupun pemerintah dan BPJS Kesehatan optimistis dengan perbaikan kinerja beberapa tahun ke depan, tapi sejumlah pengamat justru memiliki pendapat yang berbeda. Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan defisit yang diderita BPJS Kesehatan tahun ini berpotensi masih di kisaran Rp17 triliun-Rp18 triliun.
Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan prediksi BPJS Kesehatan yang hanya sekitar Rp13 triliun. Timboel menyatakan kenaikan iuran peserta PBI dan PPU hanya akan menambah dana terhadap BPJS Kesehatan sekitar Rp13 triliun-Rp14 triliun.
"Anggaplah defisit yang terjadi seharusnya Rp30 triliun, uang dari PBI dan PPU hanya akan menutup sebesar Rp14 triliun atau Rp13 sekian triliun. Jadi masih ada Rp17 triliun sampai Rp18 triliun," ucap Timboel kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/10).Dengan demikian, pencatatan defisit itu akan berlanjut ke pembukuan tahun depan (carry over). Sementara, Timboel memproyeksi BPJS Kesehatan masih defisit pada 2020 mendatang.
"Ini akan jadi beban, ada defisit Rp18 triliun yang akan di-carry over ke 2020. Lalu 2020 masih defisit saya perkirakan," kata Timboel.
Kondisi ini akan berbeda jika pemerintah berani menggelontorkan dana lebih banyak untuk melunasi seluruh utang BPJS Kesehatan di rumah sakit. Bila utang lembaga itu terhadap rumah sakit dilunasi 100 persen tahun ini, artinya beban BPJS Kesehatan tahun depan bisa jadi menyusut.
"Kalau utang ke rumah sakit menjadi Rp0 maka 2020 bisa surplus. Pemerintah bisa menaikkan peserta PBI kan berarti ada dana cadangan yang dikucurkan pemerintah, ini bisa ditambah dana bantuannya untuk bayar utang ke rumah sakit," papar Timboel.Berdasarkan data yang dimiliki BPJS Watch, jumlah utang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit per 30 Juni 2019 sebesar Rp9,23 triliun. Menurut Timboel, angkanya meningkat sekitar Rp3,93 triliun dari posisi April yang masih Rp5,3 triliun.
"Jadi angkanya relatif naik sekitar Rp4 triliun dalam beberapa bulan, trennya seperti itu," imbuh Timboel.
Tak hanya itu, Timboel juga menilai kenaikan iuran peserta mandiri yang mencapai 100 persen untuk kelas I dan II juga berpotensi mengerek jumlah peserta non aktif mencapai 60 persen dari peserta mandiri. Bila demikian, potensi pendapatan BPJS Kesehatan semakin berkurang dari prediksi awal.
"Saya melihat peserta non aktif akan semakin besar. Jumlahnya saja 49,06 persen dari 32 juta per Juni 2019. Kalau iuran dinaikkan lagi mungkin akan terjadi peningkatan," terang dia.Belum lagi, peserta mandiri kelas I dan II bisa saja mengajukan perubahan kelas rawat menjadi kelas III. Hal ini akan membuat potensi pendapatan yang diterima BPJS Kesehatan semakin berkurang.
"Mereka (peserta mandiri kelas I dan II) bisa turun ke kelas III. Ini kan menaikkan iuran tujuanya untuk menambah iuran tapi justru akan turun. Ini jadi kontraproduktif," ujar Timboel.
Dari pihak BPJS Kesehatan, Iqbal tak menampik kalau ada permintaan perubahan kelas lantaran kenaikan iuran peserta mandiri yang naik hingga 100 persen untuk kelas I dan II. Hanya saja, Iqbal tak merinci berapa jumlah peserta yang mengajukan perubahan kelas dari yang tinggi ke rendah.
"Tentu menyesuaikan kemampuan peserta. Data ini jutaan. Data kepesertaan BPJS ini banyak segmennya," kata Iqbal.
Tata Kelola BPJS KesehatanSama halnya seperti BPJS Watch, Pengamat Asuransi Herris Simanjuntak juga pesimistis kenaikan iuran peserta PBI, PPU, dan peserta mandiri dapat memperbaiki keuangan BPJS Kesehatan dalam jangka panjang. Sebab, persoalannya bukan hanya dari iuran semata.
"Kenaikan iuran hanya salah satu langkah. Ada banyak hal lain. Kalau hanya andalkan iuran saja bisa defisit lagi nanti," ujar Herris.
Menurutnya, tata kelola perusahaan (good corporate governance/gcg) BPJS Kesehatan juga harus diperbaiki. Misalnya, BPJS Kesehatan bisa lebih tegas terhadap pihak-pihak yang masih sering menunggak pembayaran iuran setiap bulannya.
"Jangan sampai peserta hanya daftar untuk klaim saja, bayar iuran juga harus teratur. Ini harus ditertibkan," tutur Herris.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga harus meningkatkan sinergi dengan lembaga lain, seperti kepolisian dan imigrasi agar peserta yang sering menunggak pembayaran iuran dan tak memiliki BPJS Kesehatan bisa dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku."Idealnya memang harus koordinasi, tidak bisa sendiri-sendiri," jelasnya.
Dalam aturan yang ditetapkan pemerintah, peserta yang menunggak iuran bisa kehilangan haknya dalam mendapatkan pelayanan publik. Beberapa pelayanan yang dimaksud, antara lain mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Sejauh ini, Herris menilai aturan itu belum dijalankan di lapangan. Padahal, jika pp tersebut diimplementasikan secara maksimal, bukan tidak mungkin keuangan BPJS Kesehatan bisa positif untuk jangka panjang.
[Gambas:Video CNN] (sfr)
No comments:
Post a Comment