Pages

Friday, August 30, 2019

Mimpi Besar Mewujudkan Semesta Impian Melalui 'Gundala'

Jakarta, CNN Indonesia -- Komik, atau cerita bergambar (cergam) bukan hal baru di Indonesia. Karya anak negeri bahkan pernah jadi idola di era 1970-an. Di antara hiburan yang masih terbatas, Gundala adalah satu satu jagoan terbesar kala itu, berjalan beriringan bersama Godam. Belum banyak cerita pahlawan super, kebanyakan masih berupa cerita silat.

Sepuluh tahun kemudian, pahlawan-pahlawan super dalam negeri terdesak mundur ketika Spider-Man berayun ke Indonesia. Komik-komik karya komikus asing membanjir masuk, baik dari AS maupun negara Asia sendiri seperti Jepang. Gundala dan kawan-kawannya pasrah dijajarkan di emperan toko.

Seiring berjalannya waktu, komik lokal mulai terlupakan. Tak hanya karena perubahan tren, namun kotak elektronik bernama televisi juga turut berperan besar. Sebenarnya, komik lokal tak pernah mati. Komikus-komikus muda masih berkarya, melalui platform modern seperti Instagram atau Webtoon.

Nama Gundala kembali mencuat ketika sutradara mengumumkan proyek tersebut. Publik menunggu, karena hal ini bukan yang pertama. Si Buta Dari Goa Hantu sebelumnya juga naik ke layar lebar, meski tidak amat berhasil melawan film-film Indonesia lainnya yang bangkit dan menguat kembali dalam beberapa tahun terakhir.

Namun ketika konsep Jagat Semsta Bumilangit diumumkan, masyarakat terkesiap. Demam Avengers: Endgame dari Marvel Cinematic Universe belum benar-benar berakhir, tak ada yang menduga ada sineas-sineas yang terpikir untuk membuat hal serupa. Mengumpulkan jagoan-jagoan lokal dalam satu semesta adalah sebuah keputusan berani.

Harya Suraminata, yang menggores karakter Gundala dan lebih populer dengan nama Hasmi, gembira bukan kepalang mendengar rencana karyanya bakal dijadikan film. Sayang, ia harus menunggu cukup lama realisasi film itu, hingga menghembuskan nafas terakhir pada 2016.

Henry Ismono, kolektor komik yang juga kawan dekat Hasmi menceritakan bahwa pada 2010, Hasmi pernah berkata dalam penantiannya, "Gundala ilang, nih..."

Gundala tidak hilang. Sutradara Joko Anwar menuturkan, proses penggodokan konsep Jagat Semesta Bumilangit membutuhkan waktu bertahun-tahun. Ada begitu banyak yang harus diurus, didiskusikan, dibayar, dimatangkan, dan dirancang ulang. Belum lagi soal naskah dan pergantian sutradara.

Upaya Mewujudkan Semesta Impian Melalui 'Gundala'Joko Anwar tak hanya memiliki tanggung jawab di film 'Gundala', namun Jagad Semesta Bumilangit secara keseluruhan. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Joko mengungkapkan, ia memakai pendekatan realita dalam film Gundala. Baginya tak mungkin membuat cerita pahlawan super lokal melawan alien. Penonton akan lebih terkoneksi bila kisah bersinggungan dengan hidup mereka sendiri, satu hal yang diyakini Joko juga dirasakan oleh mendiang Hasmi.

"Pak Hasmi dan bapak yang bikin tokoh jagoan ini, mereka ingin bersuara, saya yakin. Tapi zaman dulu kan tidak bebas seperti sekarang, jadi mereka pakai satire, sindiran dan komedi," katanya.

Bagi Joko, tidak memanfaatkan kesempatan tersebut bagai berkhianat terhadap kebebasan itu sendiri. Tampaknya itulah alasan mengapa film Gundala memiliki batasan usia 13 tahun ke atas.

Henry Ismono berpendapat, film Gundala merangkul dua generasi sekaligus. Bila generasi lama tergugah karena memori dan niai historis Gundala, generasi millenial akan mendapat edukasi baru. Henry menilai, Hasmi bukan sekadar mencoret sketsa kala membuat komik Gundala.

Lebih dari itu, Hasmi sendiri telah memiliki konsep untuk komik Gundala. Membumi, humanis, rapuh, namun ingin melakukan hal yang benar, dilatari oleh kearifan lokal setempat yang mendetail. Ia tidak berpikir soal semesta waktu itu, namun menurut Henry, jauh sebelum Marvel Cinematic Universe ataupun DC Extended Universe, para komikus Indonesia pun telah menciptakan semesta mereka sendiri tanpa sadar.

Upaya Mewujudkan Semesta Impian Melalui 'Gundala'Sketsa Gundala yang merupakan hasil goresan Hasmi, menjadi sejarah bagi perkomikan Indonesia. (dok. Pribadi)
Henry berkisah, komikus-komikus di era 1970-an kerap saling 'pinjam' karakter dalam cergam masing-masing, bahkan bila komik mereka diterbitkan oleh penerbit yang berbeda. Komik menjadi sarana bertegur sapa, diistilahkan sebagai 'meminjam tokoh'.

Ia menjelaskan, misalnya Hasmi pernah menggambar tokoh Kawa Hijau dalam komiknya. Sejatinya, Kawa Hijau digores oleh Canser. Di dalam komik, Hasmi menulis, "Halo Canser, apa kabar? Tokohnya saya pinjam ya?". Hal itu lantas dibalas oleh Canser yang memasukkan Gundala ke dalam komiknya yang berjudul Dendam Si Kawa Hijau.

Canser menulis di komiknya sendiri, "Hasmi, tokohnya saya pinjam ya, apa kabar?".

Semesta yang tak sengaja itu seolah digenapi oleh Jagad Semesta Bumilangit yang baru akan memasuki jilid pertama lewat film Gundala. Disebutkan, saat ini sudah disiapkan delapan film susulan yang akan tayang dalam waktu enam tahun.

Dibintangi oleh Abimana Aryasatya, Gundala memiliki beban berat sebagai pembuka semesta. Bagaikan pertaruhan, peluang sukses sama besar dengan kemungkinan gagal. Namun setidaknya, kini salah satu keinginan Hasmi, yang memang penggemar film, telah terwujud. Petir Gundala menyambar di layar lebar.

[Gambas:Video CNN] (rea)

Let's block ads! (Why?)

from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2LhvjnI

No comments:

Post a Comment