Pages

Tuesday, October 23, 2018

Sebut Freeport Tak Rugikan Negara, Greenpeace Nilai BPK Kolot

Jakarta, CNN Indonesia -- Greenpeace Indonesia memandang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih konservatif jika tak menyebut limbah PT Freeport Indonesia merugikan negara.Tailing Freeport disebut telah merusak sungai di Mimika, Papua, selama 30-40 dekade terakhir.

"Saya kira daya dukung eksosistem dari sungai di sana sudah menurun. Persoalan seperti ini tidak bisa dihitung dengan perhitungan ekonomi yang konservatif dengan input output yang standar. Tapi harus menghitung biaya yang harus dikeluarkan negara untuk memulihkan DAS Sungai Ajkwa di wilayah. Mimika," ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak di Jakarta, Selasa (24/10).

Dia meminta pemerintah belajar dari bencana kebakaran hutan yang setiap tahun terjadi. Potensi kerugian bencana itu sudah jelas di depan mata, sehingga bisa dihitung potensi kerugiannya.

"Sama-sama kerusakan lingkungan, kalau karhutla bisa dihitung kenapa yang ini tidak bisa dihitung kalau dilihat dari metodenya," terangnya.


Leonard menegaskan pemerintah harus menghitung fungsi ekonomi Sungai Ajkwa dan kontribusinya pada Kabupaten Mimika yang hilang akibat menampung tailing puluhan jutaaan ton selama bertahun-tahun.

Sementara itu, Knowledge Management Director Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri menilai bahwa hilangnya nilai jasa ekosistem sebesar Rp185 triliun memang tidak bisa dianggap sebagai kerugian maupun potensi kerugian negara. Pasalnya, negara baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2017 tentang IELH (Instumen Ekonomi Lingkungan Hidup) jauh setelah Freeport ada di Indonesia.

"Yang saya lihat sekilas kenapa ini tidak disebut sebagai kerugian karena memang secara resmi Indonesia belum memvaluasi jasa ekosistem sebagai hitung-hitungan yang ada di dokumen yang ada izinnya," terang Anggie.


Menurut Anggie, BPK hanya melakukan tugas sesuai mandat untuk memeriksa berdasarkan dokumen. Namun, dia berharap kerugian maupun potensi kerugian yang akan terjadi dari hilangnya jasa ekosistem segera divaluasi dalam rupiah.

Selama ini, kata Anggie, Indonesia memang belum menghitung nilai jasa ekosistem seperti hutan, gambut, air segar, penyetok karbon dan lain sebagainya. Padahal sebuah perusahaan yang tampaknya memberikan keuntungan besar bagi negara bisa saja menyebabkan kerusakan lingkungan dengan biaya perbaikan yang lebih besar.

"Selama ini yang melakukan perhitungan (potensi kerugian lingkungan) ini masih NGO atau IPB. Nah PP 46 ini memandatkan pemerintah yang menghitung. Itu udah delapan tahun didebatkan dan dinegosiasikan," pungkasnya. (agi/agi)

Let's block ads! (Why?)

from CNN Indonesia kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2q6R1R3

No comments:

Post a Comment